Menjalankan peran ganda via www.adweek.com |
Kadang kita belajar dari buku. Banyak juga belajar dari pengalaman. Yang dialami sendiri atau orang lain. Sering juga saya belajar dari iklan. Saya ingin membagikan salah satunya.
Hari itu, saya membuka halaman Facebook. Salah seorang kawan menuliskan tagar #ShareTheLoad. Penasaran. Saya lanjutkan mencarinya di mesin pencarian. Ketika saya mengetikkan tagar #ShareTheLoad, muncul beberapa video. Baru saya paham bahwa #ShareTheLoad adalah salah satu iklan produk P&G India. Lebih tepatnya iklan detergen untuk mesin cuci.
Menit awal, terlihat seorang ibu yang pulang dari bekerja. Baru beberapa detik masuk rumah, ponselnya berdering. Sejak saat itu tangannya tidak pernah lepas dari memegang ponsel. Sementara tangan lainnya mengerjakan pekerjaan rumah. Membereskan mainan anaknya, membuatkan teh untuk ayahnya dan memasak. Sambil tetap berbicara dengan orang di ponsel.
Ayahnya melihat pergerakan anaknya. Terlihat bangga. Anak perempuannya sudah besar, mampu mengurus pekerjaan dan keluarganya. Pada bagian selanjutnya, muncul penyesalan setelah melihat suami anaknya yang hanya duduk. Seperti sedang menonton televisi sambil menyeruput minumannya.
Ayahnya meminta maaf kepada anaknya. Sang anak harus melakukan segala pekerjaan rumah sendirian. Inilah yang dia pelajari dari orang tuanya. Sang ayah tidak pernah membantu ibunya. Itu juga yang dipelajari oleh suaminya dari keluarganya.
Akhirnya, sang ayah pulang ke rumah. Meninggalkan surat untuk anak perempuannya. Meminta maaf dan berusaha menebus kesalahannya selama ini. Dimulai dari membantu istrinya untuk mencuci pakaian.
Dalam. Itulah yang saya rasakan ketika melihat iklan ini. Saya melihat diri saya ada pada si anak perempuan itu. Tak sepenuhnya sama. Hanya mirip dan pernah saya keluhkan. Sering saya pertanyakan pada diri saya.
Ketika saya pulang kerja, tidak ada yang mencuci piring. Dibiarkan sampai menumpuk. Jika bukan saya atau ibu saya yang melakukannya. Tidak ada nasi yang masak. Kalau bukan saya atau ibu saya.
Suatu hari, ayah menanyakan mengapa saya tidak memasak nasi. Saya balik bertanya, kenapa tidak meminta adik saya yang laki-laki untuk memasak. Dia juga bisa dan pernah dengan terpaksa memasak nasi. Berakhir dengan tidak baik.
Saya sering dimarahi ibu karena tidak mencuci piring. Bukan tidak, hanya mencuci piring yang saya pakai. Ada piring kotor berarti saya tidak mencuci. Protes mengapa yang lain boleh tidak mencuci piring. "Kamu kan anak perempuan." pernyataan itu membuat saya sedih.
Bukan masalah ini dikerjakan perempuan atau laki-laki. Pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama. Walaupun perempuan, saya juga bisa mengganti galon air, mengecat tembok, merangkai lemari kayu atau memperbaiki alat elektronik ala kadarnya. Tidak perlu menunggu laki-laki.
Di antara busa sabun dan piring kotor, sering saya membayangkan indahnya jika berbagi tanggung jawab. Semua mencuci apa yang dia pakai. Ada piket menyapu. Bersama-sama membersihkan rumah di hari Minggu. Karena kita tinggal di rumah yang sama, punya hak dan kewajiban yang sama.
Fadli dan keluarganya sudah menerapkan pembagian kerja ini. Tidak hanya ibunya yang mencuci. Ada tiga laki-laki dan satu perempuan di rumahnya. Semua punya peran dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Saya sedikit iri.
Perlahan, saya coba mengajak adik saya yang paling kecil untuk terlibat. Jika piring kotor menumpuk, saya berbagi tugas dengan dia. Saat saya memasak, dia menjadi asisten peracik bumbu. Mengajaknya ke pasar untuk membeli bumbu dapur. Sedikit demi sedikit, dia mulai mencuci panci yang dipakai untuk membuat mi instan.
Membayangkan kelak adik kecil ini akan menjadi suami. Dia tak perlu canggung membantu istrinya. Tak merasa wibawanya jatuh hanya karena mengerjakan pekerjaan rumah. Bukan menjadi suami yang duduk-duduk sementara istrinya kelelahan urusan domestik rumah tangga. Selama 24 jam, 7 hari dalam seminggu.
Belum terlambat untuk memulai. Mulai dari apa yang kita bisa. Tak ahli tak apa. Biarkan diri kita belajar. Terima kasih untuk laki-laki yang sudah memulai. Kalian hebat, semoga kelak anak kalian mencontoh ayahnya.
Ayahnya melihat pergerakan anaknya. Terlihat bangga. Anak perempuannya sudah besar, mampu mengurus pekerjaan dan keluarganya. Pada bagian selanjutnya, muncul penyesalan setelah melihat suami anaknya yang hanya duduk. Seperti sedang menonton televisi sambil menyeruput minumannya.
Ayahnya meminta maaf kepada anaknya. Sang anak harus melakukan segala pekerjaan rumah sendirian. Inilah yang dia pelajari dari orang tuanya. Sang ayah tidak pernah membantu ibunya. Itu juga yang dipelajari oleh suaminya dari keluarganya.
Akhirnya, sang ayah pulang ke rumah. Meninggalkan surat untuk anak perempuannya. Meminta maaf dan berusaha menebus kesalahannya selama ini. Dimulai dari membantu istrinya untuk mencuci pakaian.
Dalam. Itulah yang saya rasakan ketika melihat iklan ini. Saya melihat diri saya ada pada si anak perempuan itu. Tak sepenuhnya sama. Hanya mirip dan pernah saya keluhkan. Sering saya pertanyakan pada diri saya.
Ketika saya pulang kerja, tidak ada yang mencuci piring. Dibiarkan sampai menumpuk. Jika bukan saya atau ibu saya yang melakukannya. Tidak ada nasi yang masak. Kalau bukan saya atau ibu saya.
Suatu hari, ayah menanyakan mengapa saya tidak memasak nasi. Saya balik bertanya, kenapa tidak meminta adik saya yang laki-laki untuk memasak. Dia juga bisa dan pernah dengan terpaksa memasak nasi. Berakhir dengan tidak baik.
Saya sering dimarahi ibu karena tidak mencuci piring. Bukan tidak, hanya mencuci piring yang saya pakai. Ada piring kotor berarti saya tidak mencuci. Protes mengapa yang lain boleh tidak mencuci piring. "Kamu kan anak perempuan." pernyataan itu membuat saya sedih.
Bukan masalah ini dikerjakan perempuan atau laki-laki. Pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama. Walaupun perempuan, saya juga bisa mengganti galon air, mengecat tembok, merangkai lemari kayu atau memperbaiki alat elektronik ala kadarnya. Tidak perlu menunggu laki-laki.
Di antara busa sabun dan piring kotor, sering saya membayangkan indahnya jika berbagi tanggung jawab. Semua mencuci apa yang dia pakai. Ada piket menyapu. Bersama-sama membersihkan rumah di hari Minggu. Karena kita tinggal di rumah yang sama, punya hak dan kewajiban yang sama.
Fadli dan keluarganya sudah menerapkan pembagian kerja ini. Tidak hanya ibunya yang mencuci. Ada tiga laki-laki dan satu perempuan di rumahnya. Semua punya peran dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Saya sedikit iri.
Perlahan, saya coba mengajak adik saya yang paling kecil untuk terlibat. Jika piring kotor menumpuk, saya berbagi tugas dengan dia. Saat saya memasak, dia menjadi asisten peracik bumbu. Mengajaknya ke pasar untuk membeli bumbu dapur. Sedikit demi sedikit, dia mulai mencuci panci yang dipakai untuk membuat mi instan.
Membayangkan kelak adik kecil ini akan menjadi suami. Dia tak perlu canggung membantu istrinya. Tak merasa wibawanya jatuh hanya karena mengerjakan pekerjaan rumah. Bukan menjadi suami yang duduk-duduk sementara istrinya kelelahan urusan domestik rumah tangga. Selama 24 jam, 7 hari dalam seminggu.
Belum terlambat untuk memulai. Mulai dari apa yang kita bisa. Tak ahli tak apa. Biarkan diri kita belajar. Terima kasih untuk laki-laki yang sudah memulai. Kalian hebat, semoga kelak anak kalian mencontoh ayahnya.
-MY yang masih suka melamun di antara busa sabun-