Mendefinisikan Ulang Buka Bersama: Sekedar Buka atau Bersama-sama

12.57

Berbuka bersama via www.meetup.com

Saya dan Fadli memutuskan untuk merasakan buka bersama di luar rumah setelah beberapa hari ini kami nyaman berbuka dengan keluarga. Sore itu setelah menjenguk teman di rumah sakit, kami pergi ke salah satu rumah makan penyetan di daerah Seturan. Tentunya diawali dengan kebingungan akan berbuka di mana. Mau berbuka di sini, tidak ada tempat salatnya. Mau berbuka di situ, terlalu jauh dan sudah pasti penuh. Mana ada rumah makan yang sepi di Ramadan seperti ini.

Kami datang 30 menit sebelum berbuka. Suasana sangat ramai dan meja nampak penuh. Alhamdulillah kami masih kebagian satu meja untuk duduk lesehan dengan dibantu pegawai rumah makan. Tempat paling pojok. Berbagi dengan keluarga di samping kami. Di dalam keramaian itu, kami merasa sangat asing. Biasanya kami duduk di teras menunggu azan dari masjid terdekat. Sekarang kami duduk berhimpitan dengan semua orang atas kebutuhan buka bersama.

Melihat sekeliling kami. Kebanyakan anak muda. Mereka sedang bercanda, ada yang berusaha menaruh handphone di tiang supaya bisa groufie. Kilatan sinar flash yang entah berapa kali terjadi. Demi mengambil momen buka puasa yang paling layak dikenang. Sebagian yang lain sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Saya dan Fadli masih tetap berusaha nyaman dalam keterasingan ini.

Azan berkumandang. Makanan dan minuman kami belum datang. Untung saya sudah mengantisipasi dengan membawa minum dan kurma. Setidaknya kami bisa menyegerakan berbuka. Tampak pegawai rumah makan masih mengantarkan makanan dan minuman ke beberapa meja.

Kami pernah mengalami rasanya menjadi pegawai rumah makan di bulan puasa. Baru berbuka dengan satu tegukan harus mengantar makanan atau melanjutkan memasak. Belum lagi keluhan dari pelanggan kenapa belum datang makanannya. Kadang pegawai ada yang sampai lupa belum berbuka. Oh masa itu.

Dua teguk dan satu kurma. Saya memutuskan untuk langsung bergegas salat magrib. Mengingat kapasitas musala dan banyaknya kerumunan. Intip sedikit, musala masih kosong. Alhamdulillah ada ibu-ibu yang juga akan salat dengan anaknya. Rezeki bisa salat berjamaah.

Di sela-sela persiapan salat, si ibu berkata "Supaya gak penuh ya mbak. Lebih baik sholat dahulu.". Mengangguk dan tersenyum mengiyakan pernyataan sang ibu. Saat kami salam, sudah ada lagi antrian di belakang kami. Doa dipersingkat menjadi hanya doa selamat dunia akhirat.

Cepat-cepat kembali ke meja pojokan. Fadli sudah menunggu bak kami akan lari estafet. Ibadah di tempat yang berbanding terbalik dengan jumlah manusia adalah rangkaian lari maraton. Apalagi magrib itu waktunya singkat.

Makanan sudah tersaji begitu saya kembali. Namun hanya teh panas yang menarik hati. Untuk melegakan dahaga setelah perjalanan menuju musala yang penuh ketegangan. Hahaha.

Episode berlanjut ke makanan berbuka. Kami makan sembari berdiskusi dengan keterasingan ini. Jujur saja, kami tidak begitu nyaman. Salat harus terburu-buru. Makan juga harus cepat jika tidak mau ketinggalan salat tarawih. Sementara di rumah, kami makan dengan santai. Ibadah dengan nyaman. Terkadang masih ada sisa waktu untuk bercengkrama dengan keluarga. Menurut kami, memang tidak ada yang menandingi berbuka puasa di rumah.

Itulah mengapa mulai tahun ini kami ingin berbenah diri. Tidak ingin ditinggalkan Ramadan begitu saja. Kami mulai dengan menata jadwal berbuka puasa di luar rumah. Bukannya tidak sama sekali, hanya lebih mengatur prioritas. Keluarga juga prioritas. Kami mencari keberkahan buka bersama keluarga. Menghargai ibu yang sudah memasak di rumah. Memanfaatkan bulan ini untuk banyak beribadah dengan keluarga.

Buka bersama di luar boleh asal tidak mengakhirkan waktu salat. Apalagi sampai kehilangan salat tarawih, salat yang hanya ada pada Bulan Ramadan. Salat itu rukun Islam yang kedua dan puasa yang keempat. Sama-sama bagian rukun Islam bahkan salat lebih awal dari puasa. Seharusnya saat berbuka bersama, kita bisa sama-sama menunaikan salat magrib berjamaah. Bukan cuma berbukanya yang sama-sama, salatnya juga.

Buka bersama adalah momentum mempererat silaturahim. Bukan hanya sekedar kebutuhan foto dan mengunggah status di media sosial. Mari kita tinggalkan sejenak gadget kita untuk saling bertegur sapa satu sama lain. Menanyakan kabar, mengenang masa-masa sekolah sampai saling memaafkan atas kesalahan yang dahulu. Maaf tidak harus menunggu Lebaran kan.

Jangan berlebih-lebihan dalam buka puasa. Sejatinya bulan ini adalah bulan di mana kita belajar berbagi dengan orang lain dengan memperbanyak sedekah. Jangan sampai pengeluaran buka bersama kita jauh lebih banyak daripada sedekah.

Sering kita dengar pernyataan, "Duh boros banget nih buat buber.". Uang habis untuk buber A, B sampai A aksen. Saking banyaknya. Harusnya kita lebih hemat di bulan ini. Jatah makan siang kita dialihkan untuk sedekah. Toh kita makan juga cuma dua kali kan.

Saat kita berbuka bersama di rumah teman. Ada baiknya kita sama-sama bawa potluck supaya tidak memberatkan. Alhamdulillah kalau bisa buka puasa bersama di panti asuhan atau panti jompo. Sambil membagikan nasi bungkus ke tukang becak atau fakir miskin juga menyenangkan. Banyak cara bisa kita lakukan.

Semoga kita mendapatkan keberkahan atas buka bersama yang kita lakukan. Silaturahim yang terjalin dan ibadah yang terjaga. Aamiin Ya Rabbal'alamin.

-MY yang masih belajar memaknai Bulan Ramadan-

You Might Also Like

0 comments

Subscribe