Introspeksi Diri: Penyesalan Seorang Cucu

20.04

Mira dan Eyang Putri (Dokumentasi Pribadi)
Idulfitri kali ini sangat berbeda. Mungkin dirasakan sebagian keluarga besar ibu. Yangti, begitu saya memanggil nenek. Ibu dari ibuku. Yangti merupakan kependekan dari kata eyang putri yang berasal dari bahasa Jawa.

Malam takbiran di mana orang riuh mengumandangkan takdir, Yangti diberi cobaan sakit. Hingga harus bertakbir di rumah sakit. Besoknya, saya diminta untuk memilih. Membantu mempersiapkan acara keluarga besar atau menunggu Yangti di rumah sakit. Saya memilih menunggu Yangti. Pasti sudah banyak yang bisa membantu di sana, pikirku.

Selepas salat ied, saya pergi ke rumah sakit. Yangti terlihat masih tidur dengan infus menancap di pergelangan tangannya yang keriput. Yangti diduga mengalami infeksi pencernaan sehingga lemas dan mengalami dehidrasi. Semua makanan dan minuman ditolak oleh tubuh Yangti.

Infeksi itu membuat Yangti harus bolak-balik kamar mandi. Makan sedikit, ada dorongan untuk ke kamar mandi. Tetapi Yangti harus tetap makan, tidak bisa hanya bergantung kepada infus.

Saya membantu Yangti saat ingin ke kamar mandi. Memberi semangat yangti supaya mau menghabiskan makanannya. Melakukan segala cara supaya Yangti mudah untuk makan. Membantu untuk mengenakan mukena saat Yangti ingin menjalankan ibadah. Sesekali berbincang saat Yangti tak dilanda rasa kantuk.

Eyang Kakung, Mira, dan Tante Hasti (Dokumentasi Pribadi)
Melihat Yangti tidur, saya teringat Yangkung. Suami Yangti yang sudah dipanggil Allah. Tiba-tiba ada rasa sesak menghampiri. Mata saya mulai berkaca-kaca. Saya dulu tidak sempat merawat Yangkung saat sakit.

Pada awal semester, saya sering berkunjung ke rumah eyang. Letaknya yang lebih dekat dari kampus, menjadikan rumah eyang sebagai tempat saya beristirahat. Menunggu jam kuliah selanjutnya atau sekedar ingin makan siang. Daripada saya harus jauh-jauh pulang ke rumah.

Baik Yangkung atau Yangti sangat senang ketika saya datang. Yangkung selalu menawari saya kudapan kesukaannya. Yangti selalu menyuruh saya makan, entah saya sudah makan atau belum. Tak lupa, Yangkung selalu mengajak saya berdiskusi mengenai topik yang sedang menjadi tajuk berita. Maklum, Yangkung selalu membaca koran dan menonton berita setiap pagi. Pengetahuannya luas.

Sebagai veteran perang, Yangkung juga senang bercerita tentang masa lalu. Bagaimana sulitnya perang. Arti kemerdekaan Indonesia bagi pejuang seperti Yangkung. Ceritanya selalu membius saya. Detail dan bersemangat. Bagaikan pelajaran sejarah yang dikisahkan dari pelakunya langsung. Ditutup dengan nasihat untuk penerus bangsa seperti saya.

Cerita itu tak lagi sering saya dengar. Saya mengalami puncak kesibukan sebagai mahasiswa. Organisasi, penelitian, belum lagi kerja kelompok. Tak sempat mengunjungi rumah eyang. Terlalu lelah untuk melangkahkan kaki ke luar kampus.

Suatu hari Yangkung tak bisa lagi bangun dari tempat tidur. Penyakit telah melumpuhkan segala pergerakannya. Sebenarnya Yangkung sakit sudah sangat lama. Namun Yangkung pantang untuk bermalas-malasan. Masih mengecat rumah, membetulkan genteng, dan lain-lain.

Saya berencana menjenguk Yangkung. Entah karena keegoisan saya terhadap waktu. Saya akhirnya hanya bisa berjumpa saat Yangkung sudah berbalut kain kafan. Menatap kosong ke arah pojok meja makan. Tempat saya dan Yangkung biasanya berbagi cerita. Andaikan saya boleh meminta kepada Allah. Saya ingin berada di samping tempat tidur Yangkung sekali saja.

Sesal. Hanya itu yang ada di benak saya. Yangkung selalu merawat saya dari kecil. Melakukan hal terbaik sebagai kakek.

Tetapi saya lupa menjalankan peran sebagai cucu yang baik. Hal terakhir yang bisa saya lakukan sekarang adalah merawat jam tangan kesayangan Yangkung. Jam itu diberikan kepada saya setelah lama selalu dipakai Yangkung. Mengirimkan doa semoga Allah mengizinkan Yangkung berada di sisi Allah yang paling baik.

Kadang kita berusaha mati-matian untuk meraih impian kita. Membuka jaringan perteman seluas-luasnya. Sibuk silaturahim ke sana ke mari. Kadang itu hanya demi kita sendiri.

Lupa saat kita masih belum bisa berjalan. Banyak orang yang membantu kita dalam segala hal. Menyuapi makan, menggantikan baju, mengobati saat sakit. Orang itu kita sebut dengan keluarga. Orang yang sering mendoakan dan sering kita lupakan.

Saya tidak ingin menyesal dua kali. Saya hanya memiliki Yangti sementara. Karena semua adalah milik Allah. Apa yang saya lakukan untuk Yangti tentu tidak akan bisa membalas kebaikan Yangti yang telah mengasuh saya selama ini.

Semoga kita masih sempat berbuat baik kepada keluarga kita. Meluangkan waktu untuk keluarga. Terutama orang tua kita. Selipkan doa bagi mereka yang telah merawat kita di antara doa keinginanmu. 

Alloohummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa. Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan ibu bapakku. Sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktu kecil.

-MY yang merindukan nasihat Yangkung-

You Might Also Like

0 comments

Subscribe