Memaafkan Makhluk Bernama Mantan
12.25Alhamdulillah sah ya, Pak Tege! |
Sejak saya unggah foto ketika menghadiri akad nikah mantan, banyak orang yang bertanya. Gimana sih koq bisa baikan kayak gitu. Kamu koq tabah banget dateng. Sampai ada yang terharu entah kenapa. Mungkin karena posisi Vella saat mengambil foto itu. Begitu emosional.
Tiga Mantan
Saya punya tiga mantan. Tiga-tiganya teman SMA saya. Mereka bertiga pernah satu kelas. Gila? Iya, saya juga tidak tahu kenapa mereka dulu sempat mau sama saya. Mungkin khilaf, untung sudah sadar.
Saya dulu suka bertanya ke Tuhan. Kenapa saya putus terus, diputusin lebih tepatnya. Kenapa saya mesti punya mantan. Kenapa saya kembali lagi ke lingkaran itu lagi. Kenapa, kenapa, dan kenapa. Semakin saya banyak bertanya, semakin banyak mantan saya.
Suatu saat, saya berhenti bertanya. Ingat kata-kata, Tuhan tidak akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya. Oke, jadi saya berkesimpulan kalau Tuhan yakin kalau saya punya kemampuan untuk berdamai dengan para mantan saya. Itulah kenapa saya diuji dengan punya banyak mantan. Sungguh kesimpulan yang mengada-ada.
Berteman dengan Makhluk Itu
Pertama kali mencoba berteman (lagi). Jujur susah sekali. Posisinya saya diputus, saya yang mencoba untuk berteman lagi. Rasa-rasanya koq gengsi saya berontak. Hati saya masih (agak) sakit sehabis diputus. Hanya logika saya yang mulai sehat, dia bertanya mau sampai kapan seperti ini.
Kalau ada yang bilang saya baik sekali bisa memaafkan mereka. Sesungguhnya yang saya lakukan itu untuk diri saya sendiri. Bukan untuk mereka. Lho kenapa koq bisa begitu?
Ibaratnya ketika saya masih benci, sebel, marah sama mantan. Saya masih membawa persoalan dari masa lalu sampai masa sekarang. Persoalan yang sebenarnya tidak perlu saya bawa. Toh, di masa depan akan ada masalah juga. Kenapa bawa-bawa dari masa lalu. Kurang kerjaan.
Mulai saya lepas satu-satu persoalan masa lalu. Kalau boleh, saya lebih suka menyebutnya ‘beban masa lalu’. Seiring saya memaafkan, saya membuka jalur komunikasi, mau bertemu dengan mereka. Beban itu satu per satu lepas. Saya tinggalkan di jalur waktu yang seharusnya yaitu masa lalu.
Hubungan saya dan mantan mulai membaik. Dimulai dengan pertemanan maka diakhiri menjadi teman juga. Kalau ada masalah lagi bagaimana? Ya sudah tidak apa-apa. Judulnya kan menjadi masalah dengan teman. Bukan dengan mantan lagi. Beban emosionalnya menjadi lebih ringan.
Ketika saya berproses memaafkan, perhatian saya mulai teralihkan pada yang lain. Membuka pertemanan yang lebih luas. Fokus dengan apa yang saya kerjakan. Batin saya tidak ‘cekit-cekit’ kalau buka media sosialnya. Mulai lupa dengan hal-hal menyakitkan yang terjadi selama pacaran. Semuanya kembali seperti biasa.
Lalu sudah ikhlas?
Apakah saya sudah ikhlas? Kalau itu hanya Allah yang tahu sampai mana proses saya mengikhlaskan. Inshaa Allah saya ikhlas. Apakah harus sampai seperti saya untuk memaafkan mantan? Jawabannya tidak.
Semua orang punya kadar persoalannya masing-masing. Punya cara memaafkan yang berbeda. Ada yang bisa berteman lagi. Ada yang demi menjaga hati masing-masing, kembali menjadi orang asing. Semua baik dengan caranya sendiri-sendiri. Tidak bisa kita menyamaratakan. Tidak juga untuk diperbandingkan.
Jadi, maafkanlah mantan dengan caramu masing-masing. Maafkan dengan cara yang paling baik, yang kau bisa. Lewat doa, senyuman, sapaan, atau pertemanan.
Anyway
- Barakallah Tege yang menikah bulan September.
- Barakallah Dhemi yang menikah bulan Agustus (dikasih tahu sama Facebook).
- Addin, Din Din? Kapan nikah? Perlu restu gak?
-MY yang punya mantan cukup tiga saja-
0 comments